Serangan Terhadap Konvoi Presiden saat Krisis Energi Meluas di Ekuador
Pada Minggu malam (28/9/2025), sebuah konvoi kemanusiaan yang dipimpin oleh Presiden Daniel Noboa diserang oleh massa di provinsi Imbabura, saat melewati wilayah Cotacachi, dalam rangka memberikan bantuan kepada masyarakat yang terdampak krisis harga bahan bakar. Menurut pernyataan pemerintah, konvoi tersebut tidak hanya membawa bantuan logistik, tetapi juga mengangkut diplomat asing termasuk perwakilan PBB, duta besar dari Uni Eropa, Italia, dan Vatikan.
Serangan berlangsung ketika para demonstran melemparkan batu, bom molotov, dan petasan ke arah kendaraan konvoi. Tak kurang dari 350 orang diyakini terlibat dalam aksi kekerasan tersebut. Beberapa kendaraan konvoi dilaporkan mengalami jendela pecah dan kerusakan ringan lainnya.
Pemerintah menegaskan bahwa sekitar 50 tentara yang menjaga keamanan konvoi mencoba menahan serangan tersebut. Hingga siang hari berikutnya, belum ada konfirmasi resmi mengenai jumlah korban di pihak militer atau diplomat.
Latarnya: Pemotongan Subsidi Solar dan Gelombang Protes
Krisis ini bermula ketika Presiden Noboa pada 12 September 2025 memutuskan untuk mencabut subsidi bahan bakar diesel, menaikkan harga dari US$ 1,80 menjadi US$ 2,80 per galon — kenaikan tajam yang memberatkan petani, pengemudi angkutan umum, dan masyarakat di daerah pedesaan.
Konfederasi Nasionalitas Pribumi Ekuador (CONAIE), organisasi terbesar awak suku pribumi negara itu, merespon dengan menyerukan pemogokan nasional dan demonstrasi massal. Aksi protes meluas ke berbagai provinsi dan sejak awal telah ditandai pemblokiran jalan, bentrokan dengan aparat keamanan, dan kerusakan fasilitas umum.
Sebelum serangan konvoi, bentrokan lebih awal telah memakan korban. Seorang demonstran berusia 46 tahun, Efrain Fuerez, dilaporkan meninggal setelah ditembak dalam bentrokan di Cotacachi. Pihak berwenang menyatakan bahwa 12 tentara juga terluka dalam konflik saat mengawal konvoi logistik ke wilayah utara negara.
Militer menyebut bahwa provokasi serangan berasal dari kelompok “infiltrasi kriminal” yang memanfaatkan kerusuhan sebagai samaran. Pemerintah juga menuding kelompok kriminal lintas negara, seperti geng Tren de Aragua asal Venezuela, turut campur dalam konflik ini. Mereka menyatakan bahwa beberapa demonstran yang melanggar hukum bisa dijerat pasal terorisme dengan ancaman hukuman hingga 30 tahun penjara.
Eskalasi Terbaru: Penculikan Tentara & Respons Pemerintah
Dalam peristiwa yang menyusul serangan konvoi, militer Ekuador menyatakan bahwa 17 tentara sempat ditahan sementara oleh kelompok demonstran sebelum akhirnya dibebaskan. Tuduhan balasan juga muncul bahwa demonstran menahan tentara sebagai sandera.
Pemerintah merespons dengan memberlakukan keadaan darurat (state of emergency) di delapan dari 24 provinsi, serta memberlakukan jam malam di lima provinsi yang paling terdampak. Langkah-langkah ini ditujukan untuk memulihkan stabilitas dan memastikan keamanan bagi pengiriman bantuan serta perlindungan terhadap pejabat negara.
Kantor Kejaksaan Agung Ekuador menyatakan akan membuka penyelidikan khusus terhadap dugaan penggunaan kekuatan yang berlebihan dan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka akan menggunakan protokol internasional guna menjamin objektivitas proses investigasi.
Sementara itu, kelompok hak asasi manusia domestik seperti INREDH mengecam tindakan aparat keamanan yang dianggap melampaui batas. Mereka menuntut pertanggungjawaban atas kematian Efrain Fuerez dan perlakuan keras terhadap demonstran.
Dinamika Politik & Tantangan ke Depan
Krisis saat ini bukan sekadar perdebatan soal subsidi bahan bakar. Ia mencerminkan ketegangan lama antara pemerintah pusat dan komunitas pribumi, yang selama ini menuntut pengakuan atas hak budaya, pengelolaan lahan, dan perlindungan terhadap eksploitasi sumber daya alam.
Bagi Presiden Noboa, dilema sangat berat: di satu sisi, ia berargumen bahwa pemotongan subsidi diperlukan untuk menyeimbangkan keuangan negara dan fokus pada program sosial; di sisi lain, kebijakan itu memicu kemarahan khalayak luas dan memperdalam ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Runtuhnya dialog antara pemerintah dan CONAIE memperkuat risiko konflik berkepanjangan. Jika jalan kekerasan terus berlanjut, dampaknya bisa meluas ke keamanan, ekonomi, dan legitimasi politik pemerintahan Noboa. Komunitas internasional, termasuk PBB dan organisasi hak asasi manusia di Amerika Latina, kini memantau dengan seksama.
Beberapa pihak juga menyoroti bahwa insiden ini akan menjadi ujian serius atas tanggung jawab negara dalam melindungi diplomat asing dan pejabat tinggi — serangan terhadap misi diplomatik dan konvoi kenegaraan bisa memicu kecaman diplomatik.