Pada Senin, 29 September 2025, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan penting: UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang.
Salah satu poin krusial dari putusan tersebut adalah pembatalan ketentuan Pasal 7 ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap pekerja maupun pekerja mandiri yang berpenghasilan minimal upah minimum wajib menjadi peserta Tapera. MK menilai aspek “kewajiban” itu menggeser makna dasar tabungan yang seharusnya bersifat sukarela, serta menimbulkan beban tambahan bagi pekerja — terutama mereka di level upah rendah — yang sudah memiliki kewajiban sosial lain.
MK juga mempertimbangkan bahwa pembatalan langsung seluruh UU Tapera tanpa transisi akan menimbulkan kekosongan hukum dan risiko administratif terhadap pengelolaan simpanan peserta maupun aset yang sudah terbentuk. Oleh karena itu, MK memberikan batas waktu paling lama dua tahun kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi/detil penataan ulang agar regulasi Tapera sesuai dengan konstitusi.
Respons Pemerintah dan DPR: Revisi Dalam Kurun Waktu 2 Tahun
Menanggapi amar putusan MK, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa pemerintah bersama DPR akan menyusun revisi UU Tapera. Ia menyebut bahwa tenggat waktu “dua tahun” sudah menjadi ketentuan yang lazim — mengacu pada pengalaman penataan ulang pasca putusan MK terhadap UU Cipta Kerja.
Supratman menyampaikan bahwa revisi UU Tapera akan berjalan beriringan dengan proses pembahasan RUU Perumahan yang saat ini sudah tercantum dalam Prolegnas 2026. Ia pun berharap agar revisi Tapera dapat dipercepat, meskipun belum memastikan skema mekanisme revisinya.
Sementara itu, Kementerian Perumahan dan Pemukiman (PKP) juga mendapat sorotan. Menurut publikasi dari media, MK menyebut bahwa PKP perlu bersikap kreatif dalam merancang ulang skema pembiayaan perumahan agar program Tapera tidak memberatkan rakyat, terutama kelompok berpenghasilan rendah (MBR). Pemerintah dan BP Tapera pun tengah menimbang strategi “creative financing” seperti perluasan skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) atau model “rent to own” agar program bisa lebih fleksibel dan tidak membebani.
Implikasi Bagi Pekerja dan Pelaku Industri Perumahan
Dengan dibatalkannya “kewajiban menjadi peserta Tapera,” pekerja dalam berbagai sektor—termasuk pekerja mandiri—tidak lagi bisa dipaksa secara regulatif untuk tergabung dalam program Tapera. Bagi mereka yang sebelumnya mengalami pemotongan gaji (misalnya sebesar ~3 %) untuk iuran Tapera, putusan MK membuka kemungkinan kembalinya pengaturan yang lebih fleksibel atau sukarela.
Dari sisi industri perumahan dan lembaga keuangan, putusan ini memaksa mereka menyesuaikan model kompensasi, alokasi dana, dan proyeksi arus kas. Regulasi Tapera versi revisi harus mempertimbangkan aspek kelangsungan program, insentif investasi, dan keberpihakan terhadap kelompok rentan.
Tantangan dan Agenda ke Depan
Beberapa tantangan utama yang harus dihadapi dalam proses revisi UU Tapera antara lain:
- Merumuskan kembali konsep “kewajiban vs. sukarela”
MK menolak karakter wajib secara mutlak dalam program tabungan Tapera, sehingga revisi perlu mencari formula tengah yang legal dan adil. - Menjaga kesinambungan program tanpa menimbulkan distrupsi administratif
Karena Tapera telah berjalan sejak 2016, ada dana dan mekanisme yang sudah operasional — revisi harus disusun agar tak mengganggu pengelolaan peserta lama. - Menimbang keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)
Revisi harus memperkuat perlindungan bagi MBR agar program Tapera tetap relevan sebagai instrumen akses perumahan. - Menyeimbangkan kepentingan stakeholder: pemerintah pusat, daerah, lembaga keuangan, pengembang, pekerja, dan pemberi kerja
Harus ada proses partisipatif agar regulasi baru diterima luas dan implementatif. - Sinkronisasi dengan regulasi perumahan lainnya
Karena revisi Tapera akan paralel dengan RUU Perumahan, perlu sinergi agar tidak terjadi tumpang tindih regulasi baru.