Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menggelar uji publik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Langkah ini menjadi bagian penting dalam upaya pemerintah memastikan pelaksanaan hukuman mati di Indonesia tetap menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip hak asasi manusia (HAM).
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy Hiariej, menjelaskan bahwa RUU ini disusun untuk memberikan kepastian hukum sekaligus perlindungan terhadap hak-hak terpidana mati, agar pelaksanaannya selaras dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Tujuan dari RUU ini adalah memberikan jaminan perlindungan bagi terpidana mati berdasarkan prinsip hak asasi manusia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945,” ujar Eddy Hiariej dalam sambutannya saat membuka kegiatan uji publik, Rabu (8/10/2025).
Melalui uji publik ini, Kemenkumham membuka ruang partisipasi masyarakat, akademisi, dan lembaga hukum agar pelaksanaan pidana mati di Indonesia memiliki standar hukum yang lebih transparan, manusiawi, dan akuntabel.
RUU ini diharapkan dapat menjadi pedoman nasional yang mengatur secara detail tahapan pelaksanaan pidana mati, mulai dari proses hukum hingga pengawasan pelaksanaannya. Dengan begitu, Indonesia dapat menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Perlindungan HAM dan Nilai Pancasila sebagai Dasar
Wamenkumham Eddy Hiariej menegaskan, semangat RUU ini berangkat dari nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua — Kemanusiaan yang adil dan beradab. Pemerintah berupaya memastikan bahwa pelaksanaan pidana mati tidak hanya menegakkan keadilan hukum, tetapi juga memperhatikan sisi kemanusiaan.
Menurut Eddy, RUU ini juga menjadi bagian dari komitmen pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan sistem hukum nasional dengan berbagai konvensi internasional tentang hak asasi manusia yang telah diratifikasi, seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Partisipasi Publik dan Transparansi
Uji publik yang diselenggarakan Kemenkumham ini bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari upaya mendorong transparansi kebijakan hukum di Indonesia. Dengan melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum, pemerintah berharap proses penyusunan RUU ini benar-benar mencerminkan aspirasi publik dan nilai-nilai keadilan sosial.
Kemenkumham juga membuka ruang bagi lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi internasional yang bergerak di bidang HAM untuk memberikan masukan terhadap substansi RUU.
Langkah ini sejalan dengan agenda reformasi hukum nasional, di mana setiap produk hukum harus lahir melalui proses yang partisipatif, terbuka, dan berbasis pada prinsip demokrasi.
Harapan untuk Sistem Hukum yang Lebih Berkeadilan
Dengan adanya RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, pemerintah berharap dapat menciptakan standar hukum baru yang memberikan kepastian sekaligus perlindungan bagi semua pihak — baik negara, korban, maupun terpidana.
RUU ini diharapkan tidak hanya menjadi instrumen pelaksanaan pidana mati, tetapi juga menjadi pedoman moral dan hukum dalam menegakkan keadilan tanpa mengabaikan nilai kemanusiaan.
“RUU ini adalah bentuk keseimbangan antara ketegasan hukum dan kemanusiaan. Negara harus menegakkan hukum, namun juga memastikan pelaksanaannya tetap sesuai dengan nilai luhur bangsa,” tutup Eddy Hiariej.