Pertemuan Trump–Xi di Ambang: Tarik Ulur Perang Tarif yang Menentukan Arah Ekonomi Dunia

Kedua pemimpin AS dan Tiongkok berdiskusi tentang perdagangan

Dunia kembali menahan napas. Dua raksasa ekonomi, Amerika Serikat dan Tiongkok, bersiap duduk satu meja setelah beberapa bulan saling balas ancaman tarif. Pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping, yang dikabarkan akan digelar dalam waktu dekat di Korea Selatan, diperkirakan menjadi momen penting yang bisa mengubah arah hubungan dagang global.

Ketegangan yang Kembali Membara

Setelah sempat mereda pada awal 2025, perang tarif AS–Tiongkok kembali bergejolak. Pemerintahan Trump menggertak dengan kebijakan baru: tarif 100 persen terhadap produk impor Tiongkok, jika Beijing tidak melonggarkan kebijakan kontrol ekspor bahan tanah jarang (rare earth elements).

Langkah Tiongkok yang mewajibkan izin ekspor untuk logam strategis seperti neodymium dan dysprosium dianggap Washington sebagai bentuk “senjata ekonomi.” Bagi AS, bahan-bahan tersebut adalah jantung dari industri teknologi tinggi — mulai dari semikonduktor, kendaraan listrik, hingga sistem pertahanan militer.

Trump menegaskan dalam sebuah konferensi di Washington, bahwa “Amerika tidak akan membiarkan dirinya dikunci oleh satu negara dalam hal bahan penting.” Di sisi lain, Beijing membalas bahwa kebijakan ekspor itu adalah “hak kedaulatan ekonomi” dan menuduh AS melakukan tekanan politik melalui perdagangan.

Korea Selatan Jadi Titik Temu

Menurut beberapa sumber diplomatik, Seoul dipertimbangkan sebagai lokasi netral bagi kedua pemimpin untuk bertemu pada akhir Oktober. Pertemuan itu berpotensi berlangsung di sela-sela forum kerja sama kawasan Asia-Pasifik, sehingga membuka peluang untuk melibatkan pemimpin negara lain dalam pembahasan lebih luas mengenai rantai pasok dan stabilitas perdagangan.

Sejumlah analis menilai, Trump memilih Korea Selatan karena posisinya strategis — dekat dengan Tiongkok, namun tetap sekutu erat AS. “Ini langkah simbolis,” ujar Dr. Samuel Hartono, analis politik internasional dari CSIS Jakarta. “Trump ingin menunjukkan bahwa ia tetap berpengaruh di kawasan Indo-Pasifik tanpa perlu masuk langsung ke wilayah Tiongkok.”

Agenda Berat: Dari Tarif hingga Teknologi

Pertemuan Trump dan Xi tidak hanya akan membicarakan angka tarif. Sumber diplomatik AS menyebutkan ada tiga isu besar yang akan dibahas:

  1. Tarif dan Neraca Dagang
    Trump ingin memperkecil defisit perdagangan dengan Tiongkok yang masih menembus angka ratusan miliar dolar. Ia juga menuntut agar Tiongkok membuka kembali akses pasar bagi produk pertanian dan energi AS.
  2. Kebijakan Ekspor Tiongkok
    Washington menolak sistem izin ekspor yang diterapkan Beijing terhadap bahan tanah jarang. Mereka menilai kebijakan itu menyalahi prinsip perdagangan bebas dan merugikan produsen global.
  3. Keamanan Teknologi dan Pasokan Strategis
    AS mendesak adanya transparansi dalam rantai pasok global, terutama di sektor teknologi tinggi seperti chip dan kendaraan listrik. Trump bahkan menyebut kemungkinan “pemisahan parsial” (partial decoupling) jika Tiongkok tidak mau berkompromi.

Reaksi Pasar dan Dunia Usaha

Kabar rencana pertemuan ini langsung mengguncang pasar. Indeks saham di Wall Street sempat naik setelah Gedung Putih memberi sinyal adanya “kemajuan diplomatik.” Namun, pelaku usaha masih berhati-hati.

“Jika tarif benar-benar naik hingga 100 persen, biaya produksi global akan melonjak,” kata Lydia Chen, ekonom di Hong Kong. “Tapi jika Trump dan Xi mencapai kompromi, pasar bisa berbalik optimistis secara drastis.”

Tarik-Menarik Kepentingan Politik

Bagi Trump, pertemuan ini bukan sekadar diplomasi ekonomi — tapi juga langkah politik menjelang pemilu 2026. Dengan menampilkan diri sebagai “pelindung industri Amerika,” Trump berharap mendapatkan dukungan dari kalangan manufaktur dan petani di negara bagian kunci.

Di sisi lain, bagi Xi Jinping, pertaruhan reputasi internasional tak kalah besar. Beijing ingin menunjukkan bahwa mereka tidak tunduk pada tekanan, sambil tetap menjaga stabilitas ekonomi domestik yang sedang melambat.

Dampak bagi Kawasan dan Indonesia

Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berada dalam posisi dilematis. Ketegangan dagang bisa menghambat ekspor bahan mentah dan memperlambat investasi industri. Namun, di sisi lain, relokasi pabrik dari Tiongkok ke Asia Tenggara bisa menjadi peluang besar bagi ekonomi kawasan.

“Jika konflik tarif terus berlanjut, Indonesia berpotensi menjadi alternatif basis produksi baru,” ujar Dr. Mira Santoso, pakar perdagangan internasional Universitas Indonesia. “Namun, pemerintah perlu menyiapkan kebijakan investasi yang responsif.”

Harapan di Tengah Ketegangan

Meski tensi meningkat, peluang diplomasi tetap terbuka. Para pejabat senior dari kedua negara telah melakukan pembicaraan pendahuluan untuk menyiapkan kesepakatan sementara (provisional deal) sebelum pertemuan puncak berlangsung.

Baik Washington maupun Beijing tampaknya sama-sama menyadari bahwa perang tarif tanpa akhir hanya akan merugikan keduanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *