Tragedi Timothy: Mahasiswa Udayana Berprestasi yang Pergi Karena Tekanan dan Dugaan Perundungan

Kasus Timothy Buka Luka Gelap Dunia Kampus

Bali berduka. Dunia pendidikan berduka.
Nama Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Sosiologi Universitas Udayana, kini jadi simbol luka dan refleksi bersama.

Rabu pagi, 15 Oktober 2025, kampus FISIP Unud mendadak gempar.
Timothy ditemukan meninggal dunia setelah jatuh dari gedung fakultas. Kabar ini menyebar cepat, mengguncang hati banyak orang — terutama teman dan dosen yang mengenalnya sebagai mahasiswa berprestasi, santun, dan selalu ceria.

IP-nya hampir sempurna (3,91). Ia aktif dalam riset, rajin kuliah, dan dikenal tidak pernah membuat masalah. Tapi di balik senyum itu, tersimpan tekanan yang mungkin tak banyak orang tahu.
Tak lama setelah kepergiannya, muncul dugaan perundungan (bullying) dari beberapa rekan kampus.
Percakapan grup WhatsApp beredar — isinya candaan kejam dan ejekan terhadap Timothy bahkan setelah ia tiada.
Publik marah. Dunia maya meledak. Tagar #JusticeForTimothy mulai ramai diperbincangkan.

Universitas Udayana langsung bereaksi.
Enam mahasiswa yang diduga terlibat diberi sanksi: dicopot dari organisasi dan tidak lulus dalam mata kuliah semester ini.
Namun bagi banyak orang, ini bukan sekadar soal sanksi. Ini soal kemanusiaan.

Apakah lingkungan kampus kita benar-benar aman dari tekanan sosial dan kekerasan verbal?
Apakah empati dan kepedulian masih hidup di antara mahasiswa kita?

Timothy bukan sekadar korban. Ia adalah pengingat keras bahwa tekanan mental bisa menghancurkan siapa pun, bahkan yang tampak kuat dan cerdas sekalipun.
Sudah saatnya kampus-kampus di Indonesia lebih serius menangani kesehatan mental dan mencegah perundungan dalam bentuk apa pun — baik di dunia nyata maupun digital.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *