Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ingin negara-negara Teluk yang kaya minyak berinvestasi besar-besaran dalam membangun kembali “situs pembongkaran” Gaza. Begitulah Trump menyebut Gaza setelah dua tahun genosida Israel terhadap rakyat Palestina.
Namun, mantan menteri luar negeri Yordania dan kini wakil presiden studi di Carnegie Endowment for International Peace di Washington, Marwan Muasher, mengatakan pada hari Selasa (21/10/2025) bahwa negara-negara Teluk bahkan tidak diajak berkonsultasi mengenai masalah ini. “Pertanyaannya adalah, siapa yang akan membangun kembali Gaza?” ujarnya dalam panel di Carnegie yang menilai langkah selanjutnya di wilayah kantong tersebut. “Perwakilan negara-negara Teluk berada di kota ini pekan lalu. Saya mendengar langsung dari mereka,” tambahnya. Dia menjelaskan, “Mereka mengatakan tidak ada yang berkonsultasi dengan kami mengenai hal ini. Tidak ada yang meminta kami untuk membangun kembali Gaza, dan tanpa adanya penyelesaian politik, kami tidak tertarik untuk membangun kembali Gaza.” Penyelesaian politik yang benar-benar dapat bertahan harus melibatkan pengakuan negara Palestina bagi 7,5 juta warga Palestina di wilayah penjajahan Israel. Dan meskipun rencana 20 poin Trump mengisyaratkan aspirasi untuk kenegaraan, pendekatan pemerintah AS yang sangat pro-Israel—yang dipimpin kaum Evangelis Kristen yang tidak menggunakan istilah “orang Palestina”—sangat jauh dari pengakuan negara Palestina, sebagaimana yang telah dilakukan oleh sekutu terdekatnya, Israel.
Knesset Israel telah memberikan suara menentang gagasan solusi dua negara sepenuhnya, meskipun kebijakan tersebut telah menjadi dasar semua negosiasi sejak awal 1990-an. “Uni Eropa telah menggelontorkan miliaran dolar ke Gaza, hanya untuk melihatnya dibom berulang kali. Uni Eropa tidak akan membangun kembali Gaza. Amerika Serikat tidak akan membangun kembali Gaza,” ujar Muasher. “Ya, akan ada janji, akan ada konferensi, tetapi semuanya hanya di atas kertas. Saya sama sekali tidak optimis bahwa rekonstruksi Gaza, sekali lagi, tanpa adanya cakrawala, akan terwujud,” papar dia. Amr Hamzawy, direktur program Timur Tengah Carnegie, mengatakan Mesir telah meminta AS membantu menyelenggarakan pertemuan puncak rekonstruksi untuk Gaza, tetapi “kondisi politik saat ini (masih) ambivalen, ambigu, dan tidak jelas”. “Kami memiliki rencana rekonstruksi yang telah dikembangkan oleh Mesir dan diadopsi oleh Liga Arab,” ujarnya mengenai dokumen yang ditandatangani pada bulan Juli. Dia mengatakan, “Dan saya yakin ini akan terus menjadi pendekatan holistik untuk merekonstruksi Gaza. Jadi ini bukan masalah kawasan atau Palestina yang tidak memiliki rencana. Rencananya sudah ada. Implementasinya bergantung pada kemauan politik di pihak Israel dan isu rekonstruksi regional dan internasional.”
Rencananya jelas di pekan pertama. Sangat jelas, sangat spesifik, dan mereka mengakhiri perang. Bebaskan semua sandera. Selebihnya, tidak ada yang jelas. Siapa yang akan membangun kembali Gaza? Apa yang harus dilakukan pasukan stabilisasi?” tanyanya. Dia menekankan, “Israel ahli dalam menggunakan ambiguitas untuk mendorong rancangannya sendiri.” Namun, kenegaraan Palestina, katanya, adalah satu-satunya area yang membuatnya merasa penuh harapan. “(Itu) akan terjadi hanya karena Anda tidak akan menyingkirkan 7,5 juta warga Palestina. Mereka tidak akan ke mana-mana,” tegas dia. “Ada orang lain seperti saya yang tidak percaya solusi dua negara mungkin lagi, tetapi itu bukan intinya. Kenegaraan akan terwujud. Sayangnya, itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat,” pungkas dia.