Jakarta – Kritik terhadap kepolisian kini tak lagi harus disuarakan lewat spanduk atau orasi di jalanan. Polri justru membuka ruang baru: festival musik jalanan.
Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo mengungkapkan, gagasan ini lahir dari perintah langsung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia diminta mencari cara agar suara masyarakat bisa tersampaikan dengan cara yang kreatif, terbuka, sekaligus damai.
“Ketika masyarakat mencoba untuk mengkritik melalui budaya, melalui lagu, Pak Kapolri bilang ke saya: ‘Bang, gimana Bang?’ Saya jawab, ya sudah Pak, kita buka festival musik jalanan. Boleh sampaikan kritik lewat seni, lewat budaya,” kata Dedi saat membuka diskusi publik soal demonstrasi di PTIK, Jakarta Selatan, Senin (29/9/2025).
Dari Lagu Viral ke Panggung Resmi
Inisiatif ini tak lepas dari maraknya kritik masyarakat terhadap Polri yang disuarakan lewat musik. Salah satunya, band asal Sukatani yang sempat viral dengan lagu “Bayar Bayar Bayar”. Lagu tersebut menyindir keras praktik pungutan liar dan menuai respons besar di media sosial.
Alih-alih merespons dengan tindakan represif, Polri memilih untuk memberi ruang bagi kreativitas semacam itu. “Justru kita jadikan wadah. Kritik bisa disampaikan, tapi dengan cara yang membangun, lewat panggung seni,” ujar Dedi.
Ruang Baru untuk Demokrasi
Festival musik ini diharapkan menjadi alternatif ruang demokrasi. Masyarakat tak hanya sekadar menyalurkan ekspresi, tetapi juga mengasah kreativitas dan menghadirkan hiburan yang mendidik.
“Polri ingin menunjukkan bahwa kritik tidak tabu. Selama disampaikan lewat jalur yang baik, seni bisa menjadi jembatan komunikasi,” kata Dedi.
Dengan adanya festival ini, publik kini punya panggung resmi untuk menyuarakan keresahan sekaligus memberikan masukan melalui karya. Tak menutup kemungkinan, ide-ide segar dari masyarakat akan jadi bahan introspeksi dan pembenahan internal di tubuh Polri.
Seni Jadi Bahasa Kritik
Fenomena kritik lewat musik bukan hal baru di Indonesia. Dari era Orde Baru hingga kini, banyak musisi yang menjadikan lagu sebagai medium perlawanan. Bedanya, kali ini Polri justru memfasilitasi, bukan melarang.
Langkah ini pun dipandang sebagai sinyal positif bahwa Polri ingin lebih dekat dengan masyarakat, khususnya generasi muda. Kritik tetap boleh dilontarkan, tapi dalam nuansa kreatif yang sehat.